Source: AI Image Illustration |
Indonesia adalah negara dengan ratusan ribu masjid, gereja, pura, dan vihara, negara yang setiap hari mendengar suara adzan berkumandang dan doa dipanjatkan. Tapi di balik semua itu, mengapa perilaku masyarakat kita justru jauh dari apa yang diajarkan oleh agama? Mengapa meski mayoritas beragama, kita tercatat sebagai negara dengan tingkat ketidak sopanan tertinggi di Asia? Apa yang salah dengan kita?
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling religius di dunia, namun kita menghadapi paradoks yang menyakitkan. Mayoritas penduduk menganggap agama sebagai pedoman hidup, sehingga seharusnya kita menjadi bangsa yang penuh kebaikan, kesopanan, dan kejujuran. Namun kenyataannya, kita justru menghadapi masalah yang sepertinya tak bisa diselesaikan. Ajaran agama yang seharusnya membimbing kita ke jalan yang lebih baik malah menjadi simbol kosong tanpa makna.
Korupsi adalah salah satu masalah paling memalukan di negara ini. Di Indonesia, korupsi bukan lagi sekadar kejahatan, ia telah menjadi budaya. Ironisnya, budaya ini tumbuh subur di tengah negara yang katanya religius. Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi fondasi dilangkahi demi kepentingan pribadi. Bayangkan ada pejabat yang korupsi dalam jumlah yang tak terbayangkan, namun hukumannya hanya 6,5 tahun. Di sisi lain, seorang miskin yang mencuri ayam untuk makan dihukum 5 tahun penuh.
Ironi ini begitu menyakitkan hingga kita bertanya-tanya: Apakah keadilan di negeri ini hanya berlaku untuk mereka yang punya kuasa? Para koruptor ini hidup nyaman di penjara mewah dengan fasilitas seperti hotel bintang 5, AC, makanan enak, bahkan akses internet. Ketidakadilan ini tidak berhenti di gedung pemerintahan. Budaya korupsi juga meresap ke level masyarakat kecil. Uang "serangan fajar" dalam pemilihan umum, amplop untuk melancarkan urusan birokrasi, hingga kebiasaan mengambil barang yang bukan miliknya dengan alasan "hanya sedikit" atau "cuma sekali" adalah contoh nyata.
Dari korupsi kecil-kecilan inilah lahir koruptor besar yang kelak memakan uang rakyat. Yang paling memuakkan adalah di pengadilan, seorang terdakwa korupsi biasanya tampil rapi dengan tasbih di tangan, seolah-olah ingin mengingatkan dunia bahwa dirinya masih beriman. Hal-hal berbau agama hanyalah topeng untuk menutupi hati yang kotor. Mereka mengangkat tangan untuk berdoa, tapi tangan yang sama juga merampas hak orang lain.
Lebih tragis lagi, budaya ini menular ke generasi muda. Ketika anak-anak melihat orang dewasa menganggap korupsi kecil sebagai hal biasa, mereka menirunya. Mencontek di sekolah atau mengambil barang milik teman adalah awal dari mentalitas korupsi. Mereka belajar bahwa nilai-nilai agama bisa dinegosiasi demi kenyamanan. Ini adalah tanda bahwa akar masalah bukan hanya pada individu, tapi juga pada sistem dan budaya kita secara keseluruhan.
Korupsi bukan sekedar masalah hukum. Ia adalah cermin dari kerusakan moral kita sebagai bangsa. Selama agama hanya menjadi ritual tanpa makna, korupsi akan terus menggerogoti Indonesia. Namun, jangan hanya menyalahkan sistem. Kita adalah bagian dari sistem tersebut.
Ketidak sopanan di Indonesia juga menjadi isu besar. Istilah seperti sopan santun dan adab sudah lama menjadi bagian dari budaya, tapi kini hanya tinggal slogan. Kesopanan seakan menjadi barang langka, bahkan di negara yang bangga dengan budaya ramah tamahnya. Faktanya, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat ketidak sopanan tertinggi di dunia online menurut survei Digital Civility Index oleh Microsoft.
Namun, masalah ini tak hanya ada di dunia maya. Di dunia nyata, perilaku tidak sopan begitu mencolok. Tawuran pelajar masih menjadi pemandangan memalukan. Anak-anak sekolah yang seharusnya belajar ilmu dan adab malah membawa senjata tajam, saling melukai demi gengsi yang tak masuk akal. Rasa hormat terhadap guru juga semakin menipis. Video murid memperlakukan guru mereka dengan kasar telah berulang kali viral. Ada yang membentak, memukul, bahkan merekam penghinaan tersebut untuk dipertontonkan di media sosial.
Fenomena ini jelas menunjukkan adanya krisis nilai moral di generasi muda kita. Di dunia maya, keadaan tak kalah buruk. Media sosial menjadi arena bebas berkata kasar, saling menghujat, dan menyebar kebencian. Anonimitas memberikan keberanian palsu untuk melontarkan kata-kata yang tak berani diucapkan di dunia nyata. Tak peduli tua atau muda, semuanya merasa bebas menyerang siapa saja, bahkan tokoh agama atau individu yang berbeda pandangan politik.
Ketidak sopanan ini tidak muncul tanpa sebab. Ketimpangan sosial yang tajam memperparah situasi. Banyak orang merasa frustrasi dengan kondisi hidup, kemiskinan, ketidakadilan, atau tekanan hidup. Mereka melampiaskannya dengan cara destruktif, seringkali salah sasaran.
Ironisnya, kita sering membanggakan diri sebagai negara religius yang menjunjung tinggi norma kesopanan, tapi kenyataan berkata lain. Nilai agama dan budaya yang mengajarkan hormat, empati, dan adab semakin terkikis oleh individualisme, ego, dan rasa frustrasi. Masalah ini bukan sekedar perilaku individu, tapi cerminan krisis moral yang lebih mendalam.
Indonesia adalah potret dari manusia itu sendiri, di satu sisi ada cahaya, namun di sisi lain ada bayangan yang gelap. Kita berjalan di antara dua kutub itu, terus-menerus berjuang melawan godaan, rasa takut, dan ambisi. Mungkin kita harus kembali ke inti segalanya: Mengapa kita ada di sini? Apa tujuan kita sebenarnya?
Dari sudut pandang ilmu sosial dan global, masalah ini mencerminkan krisis moral dan sosial yang melampaui batas negara. Ketidakadilan, korupsi, dan ketidak sopanan bukan hanya masalah lokal, tetapi juga isu global yang dialami banyak negara dalam berbagai tingkat. Dalam ilmu sosial, fenomena ini sering dikaitkan dengan faktor-faktor seperti ketimpangan ekonomi, kurangnya pendidikan moral, dan hilangnya solidaritas sosial.
Secara global, masyarakat yang mengalami ketimpangan sosial yang besar cenderung memiliki tingkat kriminalitas dan korupsi yang lebih tinggi. Ketika keadilan tidak merata dan masyarakat merasa tidak memiliki akses terhadap kesejahteraan yang sama, mereka cenderung mencari jalan pintas, yang pada akhirnya merusak tatanan sosial. Oleh karena itu, solusi dari perspektif global adalah memperkuat sistem pendidikan, menanamkan nilai-nilai moral sejak dini, dan memperbaiki sistem keadilan agar berlaku untuk semua kalangan.